Muktamar NU ke 34 di propinsi Lampung dan memasuki 1 abad NU (1926-2026) merupakan momentum yang sangat strategis untuk menegaskan kembali ke khitthan 1926 dengan menguatkan posisi tidak hanya pada level Negara, tetapi yang lebih utama adalah menguatkan NU pada level civil society. Komitmen NU terhadap Keutuhan Indonesia dengan NKRI yang bersifat final dan harga mati tidak perlu diragukan lagi, dengan komitmen itu wajib warga NU menjaga, tanah, air dan udara serta sumber daya alam di wilayah NKRI. Begitu juga dengan komitmen ke-Islaman sebagai rahmatan lil’alamin, ini menunjukkan Gerakan NU tidak hanya penolong bagi manusia, tetapi penolong bagi alam semesta (ekosistem). Ormas NU lahir dari grassroot (akar rumput) yang sangat terikat dengan lingkungan sosial maupun ekosistem/lingkunagan lingkungan alamnya. Hadratussyaikh. K.H Hasyim As’ari peletak batu pertama dan utama NU, tidak hanya membangun relasi sosial ukhuwah nadhiyah, Islamiyah, wathoniyah dan bahkan insyaniyah/ basariyah yang melintas batas dan skat-skat sosial kemanusiaan serta menghormati hak-hak lingkungan sebagai pondasi kehidupan, dan membumikan budaya kearifan lokal sebagai wujud NU itu ada. Akan tetapi K.H. Hasyim As’ari membangun relasi terhadap lingkungan alam. Santri-santri dikampung tidak hanya diajak untuk menebang pohon, tetapi diajak untuk menanam demi hidup sehat, bercocok tanam demi untuk menjawab atas kedaulatan pangan demi masa depan umat manusia. Tulisan ini akan menyoal komitmen dan kesungguhan Ormas NU dan warganya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan, sebab NU adalah organisasi yang terbesar di Indonesia, separoh warga Negara Indonesia adalah warga NU baik secara kultural maupun struktural. Sebagian besar warga NU hidup dipedesaan, baik sebagai petani, buruh tani, pedagang, buruh perusahaan, buruh perkebunan, nelayan dan lain sebagainnya sebagainya. Tentunya relasi warga NU pedesaan dengan sumber daya alam, baik hutan, hasil bumi, maupun sungai dan lainnya sudah berjalan secara turun temurun, sehingga muncul pengetahun lokal yang menjaga keseimbangan alam. Namun seiring dengan itu arus modernisasi dan kepentingan kapitalisme telah mengeksploitasi alam dengan menggunakan teknologi yang terintegrasi sedemikian rapinya, sehingga menggeser nilai-nilai lokal yang menjaga alam. Keterpurukan lingkungan saat ini seperti pemanasan global yang terdampak pada perubahan iklim, pengundulan/ deforestasi hutan secara masif, kebaran hutan baik di kawasan hutan gambut dan mineral, banjir bandang, longsor, abrasi sungai, kekeringan, krisis air bersih, kwalitas udara yang memburuk, dan lainnya yang membuat kualitas udara dan air semakin melemah serta ruang hidup yang sehat semakin menyempit, semua akan membuat manuisa tidak memiliki masa depan dan akan punah seperti punahnya mahluk hidup yang lain. Populasi manusia yang semakin meningkat dengan kebutuhan hidup yang semakin banyak akan berhadapan dengan daya dukung dan tampung lingkungan yang tersedia, seberapa banyak materi, energi dan informasi yang masih tersedia untuk populasi manusia, kalau ini tidak dipikirkan dan ditata kembali, maka daya dukung dan tampung lingkungan akan habis. Pertumbuhan populasi manusia yang cepat, kebutuhan akan pangan, bahan bakar, tempat permukiman dan lainnya, sedangkan kebutuhan secara domestik juga bertambah dengan cepat (Sumarwoto; 2004). Ini semua akan mendorong tradisi eksploitasi dan menguras daya dukung lingkungan. Pandangan antroposentrik melihat alam hanya berharga dalam konteks kegunaannya terhadap kesejahteraan manusia, sehingga dengan prinsip ini manusia dengan senjata ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka mengeksploitasi alam dengan “kebablasan” tanpa mengenal lelah dengan dalih kesejahteraan, tapi lupa meninggalkan daya dukung dan cadangan alam untuk keseimbangan dan generasi masa depan. Ketidakseimbangan alam atau disekuibirium terjadi disebabkan oleh manusia, dengan kemajuan yang dicapai oleh manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kepesatan teknologi dan hiper-industrialisasi (Dewi, 2015). Pandangan ini didasarkan pada filsafat Cartesian, dimana manusia memposisikan dirinya sebagai pusat dari alam semesta, sementara alam hanya sebagai obyek dan pemuas kepentingan manusia, sehingga muncul sikap eksploitatif tanpa kepedulian dan sensitifitas terhadap alam (Abdoellah, 2017). Pikiran dan tindakan yang eksploitatif berdsarkan filsafat ini harus dikembalikan kepada upaya untuk menyematkan lingkungan dengan pikiran-pikran yang ramah dan cinta akan kelestarian lingkungan hidup. Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah “tanah sorga, tungkat kayu dan batu jadi tanaman” begitulah lirik lagu Koes Plus/Yok Koeswoyo yang mengambarkan kaya dan indahnya Indonesia. Para penjajah berlomba-lomba ingin mengusai Indonesia, baik sebelum kemerekaan maupun setelah kemerdekaan. Eksploitasi penjajah terhadap sumber daya alam Indonesia terus menerus bahkan dengan berbagai cara dilakukan setelah kemerdekaan. Begitu juga dengan eksploitasi Negara, swasta dan rakyat (misal yg dilakukan rakyat; illegal logging, Peti dll) dengan dalil untuk kesejahteraan warga Negara Indonesia, dalam kenyataannya telah melampaui batas, sehingga lingkungan alam Indonesia semakin terpuruk. Usia Indonesia sudah 76 tahun dan usia NU 95 tahun tentulah sudah memiliki kematangan, ketajaman dan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak untuk menjaga dan melestarikan lingkungan alam demi keberlangsungan hidup NKRI dan generasi masa akan datang. Tulisan Huda di NU online, menegaskan sejak tahun 1980-an NU sudah membuat konsep fikih lingkungan yang dimotori KH. Ali Yafie dan KH.Sahal Mahfudh, kemudian tahun 1990-an NU sangat giat membahas isu lingkungan dalam bahtsul masail, terkait isu-isu lingkungan hidup, peran Negara dan masyarakat, berikutnya pada Muktamar NU ke 32 tahun 2010 di Makasar, NU secara organisasi membentuk LPBINU yang merupakan lembaga NU untuk mengurusi bencana alam, perubahan iklim dan kelestarian lingkungan. Upaya yang dilakukan NU secara organisasi sudah dilakukan, namun belum dilakukan secara maksimal dan massive, sepertinya hanya sebatas wacana dan tindakan tambal sulam dan tidak menyeluruh. Indonesia sebagai sebuah Negara telah berupaya untuk menyelamatkan lingkungan dengan berbagai program pembangunan melalui departemen Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepertinya upaya pembangunan tersebut tidak mampu mengimbangi watak eksploitatif Negara yang dibonceng oleh perusahaan-perusahaan swasta, sehingga negarapun tidak memiliki kekuatan untuk menjaga dan mengendalikan keseimbangan lingkungan, oleh sebab itu kekuatan civil society yang mandiri dan kuat yang memiliki komitmen terhadap kelestarian dan keseimbangan lingkungan alam adalah satu solusi yang paling mungkin. Gerakan civil society akan menolak dominasi dan hegemoni Negara yang eksploitatif terhadap lingkungan. Pertanyaannya siapa yang akan menjadi “lokomotif” gerakan civil society & civil ecology yang akan memimpin gerakan pelestarian dan penjaga keseimbangan lingkungan ? Jawabnya adalah NU sebagai sebuah ormas terbesar. Kenapa NU, paling tidak ada beberapa alasan;
- Bahwa NU ikut andil mendirikan Negara Indonesia, maka wajib pula untuk menjaganya;
- NU memiliki Komitmen ke-Indonesiaan dan komitmen ke-Islaman NU, yang secara ideologis selayaknya menjadi garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan;
- Sebagian besar warga NU berada pada tingkatan akar rumput, yang paling banyak memanfaatkan ekosistem dan jasa lingkungan dan alam, baik sebagai petani, nelayan dan buruh, melalui jaringan ini akan mampu menjaga lingkungan;
- NU memiliki jaringan pesantren, madrasah dan masjid terbanyak di Indonesia kalau institusi ini diberdayakan untuk mendorong kelestarian lingkungan, maka lingkungan akan terjaga dari generasi ke generasi berikutnya;
- NU memiliki struktur kepengurusan dari PBNU sampai ke ranting NU, kalau ini digerakkan untuk lingkungan, maka akan mempengaruhi kebijakan internal organisasi NU maupun pihak-pihak eksternal NU. Dan NU juga mampu memasivekan doktrin “Rahmattan lil allamiin”
Berdasarkan itu isu lingkungan yang mengancam hidup manusia, harus menjadi bahasan penting bagi peserta Muktamar NU ke 34 di Lampung, membuka sedikit pikiran yang jernih dan sungguh-sungguh untuk menyelamatkan lingkungan dan generasi masa depan serta menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan. Melalu muktamar NU ke 34, melalui kepengurusan PBNU baru yang yang diberikan mandate/amanah semoga dapat mengerakkan secara massive, terstrukur dan sistematis dalam menyelamatkan lingkungan hidup untuk menjamin keberlanjutan penghidupan, “dari NU-NYA selamatkan BumiNYA”
Oleh: Pahmi,Sy (Penulis adalah salah satu Pengurus NU Jambi/ Ketua LSOTF UIN STS Jambi)